Bagaimana 13 Reasons Why Salah Menilai Fenomena Bunuh Diri pada Remaja

13 sudah sukses diputar hingga ke season 2. Tapi, apakah pesan dari serial ini tersampaikan?

Sebagian besar pemirsa Netflix merasa 13 Reasons Why memiliki pesan yang sangat jelas: "Kebaikan mungkin bisa menyelamatkan nyawa. Tapi ternyata, bukan itu yang selalu terjadi". Sejak diluncurkan pada tanggal 31 Maret, para pecinta Netflix tidak berhenti membicarakannya di Twitter dan platform media sosial lainnya. Kasus Bunuh dii pada remaja memang meningkat belakangan ini, dan Film ini mengangkat kekhawatiran remaja zaman sekarang. Kekhawatiran untuk menyerahkan diri pada kematian.

Beberapa pemirsanya mengakui memiliki pengalaman yang sama, merasa depresi dan keinginan bunuh diri sejak sekolah menengah. Tapi sebenarnya, fokus dari jalan cerita serial ini adalah kekuatan yang dimiliki tokoh utama setelah kematiannya. Bagaimana sebuah tragedi bunuh diri bisa berdampak pada orang sekitar, dan bisa saja tidak. Hal inilah yang sebenarnya ingin diangkat oleh 13 Reasons Why. Bahwa bisa jadi, mereka yang disalahkan sama sekali tidak merasa apa-apa ketika seseorang memutuskan untuk bunuh diri.

Orang-orang berpendapat bahwa serial ini penting karena membahas tentang bunuh diri dengan cara yang tidak ditunjukkan oleh serial atau berita lainnya. Tapi jika memang ingin membahas maslaah berat seperti bunuh diri pada remaja, 13 Reasons Why melewatkan kecenderungan kelainan jiwa ini tidak disebutkan secara eksplisit dalam 13 episode yang ditayangkan. Serial ini hanya menjelaskan alasan personal yang menyebabkan si pelaku melakukan bunuh diri, namun gagal untuk mengakui bahwa 90% orang yang melakukan bunuh diri menderita penyakit jiwa. Sementara keadaan eksternal seperti bullying justru lebih ditonjolkan dalam hal ini.



Dalam film ini ada seorang tokoh yang samasekali tidak melakukan sesuatu yang buruk, tapi tetap menjadi salah satu alasan pelaku bunuh diri. Hanya karena si pelaku merasa tidak pantas, sehingga menimbulkan efek bersalah pada orang yang baik hati padanya. Akhir serial ini ditutup dengan usaha untuk merubah perilaku pada orang-orang sekitar yang memiliki kecenderungan bunuh diri. Padahal, di kehidupan nyata, baik bersikap jahat atau manis tidak selalu bisa menyelamatkan seseorang dari niat bunuh diri.  

Film ini memberi kesan bahwa tidak ada kata-kata ajaib atau isyarat yang bisa membuat orang yang ingin bunuh diri berubah pikiran menjadi ingin dan kembali memiliki semangat hidup. Setiap remaja harus menyadari tanda-tanda depresi dan pikiran untuk bunuh diri dalam dirinya dan orang di sekitarnya. Tapi mereka seharusnya tidak berpikir bahwa kebaikan mereka bisa "memperbaiki" seseorang dengan cara yang mudah.

Gagasan dari film ini sangat jauh untuk membuat para remaja mencari jalan untuk mencegah depresi atau berusaha mendapatkan bantuan aktual dari orang terdekat. Film ini justru mengajari para remaja itu untuk menempatkan beban yang sangat besar di bahu orang-orang yang ditinggalkan, dan juga terus menyalahkan diri sendiri. Ini bukanlah cara yang baik untuk mengedukasi para remaja, dan dikhawatirkan film ini hanya akan ditiru hanya supaya kematiannya menjadi fenomenal.


source: usatoday.com :
How '13 Reasons Why' gets suicide wrong: Voices